
Siapa sih opioid peptida ini? Bagi kalangan awam frasa opioid peptida mungkin masih terdengar asing dan terdengar sedikit “berbahaya”. Kata opioid selintas mengingatkan kita pada opium, buah cantik yang tumbuh subur di daerah subtropis, dimana getahnya banyak disalahgunakan sebagai bahan baku narkotika. Secara harfiah opioid peptida terdiri dari kata opioid yang berarti pengurang rasa sakit dan peptida yang berarti asam amino. Jadi bisa diartikan bahwa opioid peptida merupakan asam amino rantai pendek yang mempunyai sifat dapat mengurangi rasa sakit. Percayakah Anda bahwa ternyata opioid peptida secara alami mampu diproduksi oleh tubuh kita dari bahan-bahan makanan maupun minuman yang sering kita konsumsi sehari-hari? Bahan makanan dan minuman yang berasal dari gandum, susu, serta bahan makanan atau minuman yang mengandung fenol (pewarna) dalam komposisinya merupakan sumber penyusun opioid peptida.
Bagi orang sehat, keberadaan opioid peptida di dalam tubuh lazimnya dalam jumlah sangat kecil sehingga efeknya bisa diabaikan. Akan tetapi, bagi penyandang autisme keberadaan opioid peptida dalam tubuhnya bisa menjadi bencana apalagi bila dalam jumlah berlebihan. Secara fisiologis penderita autisme mempunyai kelainan metabolisme yang menyebabkan kebocoran mukosa usus. Saat opioid peptida terbentuk, senyawa ini akan menembus mukosa usus dan masuk ke peredaran darah, sehingga dapat mencapai sistem saraf pusat. Efek opioid peptida pada penyandang autisme bisa kita lihat pada sifat agresif dan ketidakstabilan emosinya. Oleh karena itu saat ini dikembangkan terapi diet bagi penyandang autisme, khususnya diet bahan makanan dan minuman yang mengandung glutein dan kasein.
Berbeda dengan nonpenyandang autisme, opioid peptida teridentifikasi dalam jumlah yang signifikan di dalam urin penyandang autisme. Oleh karena itu parameter keberhasilan diet glutein dan kasein penyandang autisme dapat diukur melalui kuantifikasi jumlah opioid peptida di dalam urin.
Balai Pengkajian Bioteknologi–BPPT, bekerja sama dengan sebuah laboratorium klinis, telah melakukan analisis kandungan opioid peptida di dalam urin anak-anak penyandang autisme di bawah diet glutein dan kasein. Analisis yang dilakukan meliputi identifikasi dan kuantifikasi beberapa jenis opioid peptida yaitu β-casomorphin, β-casomorphin (1-5) acetate, gluten exorphin B5, dan gliadorphin-7 trifluoroacetate.
Secara garis besar ada dua tahapan dalam proses analisis opioid peptida yaitu preparasi sampel biologis dan analisis opioid peptida dengan instrumen analisis. Dikarenakan sampel analisis merupakan sampel biologis berupa urin yang di dalamnya mengandung banyak senyawa yang bersifat “kotoran” yang keberadaanya akan mengganggu proses analisis lebih lanjut, diperlukan perlakuan–perlakuan khusus terhadap sampel biologis tersebut. Preparasi sampel urin meliputi denaturasi protein pengotor dilanjutkan dengan SPE (Solid Phase Extraction). Denaturasi protein pengotor dilakukan untuk merusak protein–protein yang tidak menjadi target analisis opioid peptida, yang mana protein tersebut akan dengan mudah mengendap oleh proses sentrifugasi. Sedangkan SPE berfungsi untuk memisahkan senyawa opioid peptida target dengan senyawa pengotor lainnya yang tidak terpisahkan oleh sentrifugasi.
Opioid peptida target kemudian dianalisis menggunakan Liquid Chromatography - Quadrupole Time of Flight – Mass Spectrometer (LC-QTOF-MS), sebuah instrumen analisis berbasis kromatografi cair dan spektroskopi, untuk mengidentifikasi ada tidaknya opioid peptida dalam sampel dan berapa jumlah opioid peptida tersebut bila terkandung di dalam sampel. Jumlah opioid peptida dikalkulasi dengan membandingkan kandungan opioid peptida dalam sampel dengan standar yang telah ditetapkan.
Perkembangan analisis opioid peptida sangat diperlukan guna mendukung terapi autisme yang bermuara pada penekanan gejala autisme khususnya pada anak–anak.
Belum ada tanggapan untuk ""RACUN” AUTISME BERNAMA OPIOID PEPTIDA"
Post a Comment